SEBUAH STUDI NOVEL BERJUDUL GENI JORA KARYA ABIDAH EL-KHALIEQY
Oleh: ASTA *)
Geni Jora adalah salah satu karya satra jenis novel, dicetak pertama kali pada bulan April 2003. Geni Jora merupakan salah satu karya sastrawan Indonesia yaitu Abidah el Khalieqy. Pada tahun 2003 novel Geni Jora keluar sebagai pemenang kedua dalam sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Melalui Geni Jora Abidah el Khalieqy berusaha mengkritisi realitas sosial dan budaya patriarkhal, mendedah masalah-masalah moral, intelektualitas dan spiritualitas kaum hawa, melalui novel ini pula dia ingin memperjuangkan harkat, martabat, dan derajat kaumnya sejajar dengan laki-laki.
Sejarah mengajarkan kita untuk kembali berpandangan ke belakang yang jauh lebih akurat dan objektif. Itu sebabnya kita membutuhkan rekonstruksi sejarah. Oleh karena itu, wacana dan realisasi kuota keterwakilan kaum perempuan di parlemen sebesar 30% adalah logika masa lalu yang tak kunjung sirna.
Dahulu, pada abad ke-14 hingga 15, sebelum gerakan feminisme bangkit, kaum perempuan (secara agamis, terutama di kalangan umat Kristiani) dinyatakan sebagai gender 'penyebab celaka' dari kisah Hawa yang menipu Adam, sampai kisah menstruasi yang menjijikkan-bagi kaum lelaki kaya-itu, serta ketidaksenangan kaum pria yang melihat sekelompok wanita menggosipkan kelemahan ('ukuran') lelaki yang sangat jamak.
Kepercayaan bahwa kaum perempuan sebagai pihak yang lemah, yang secara intelektual kurang cerdas, secara seksual 'membahayakan' (jika terlalu hot membuat kaum lelaki terancam, dan jika kurang hot menyebabkan kurang memuaskan secara seksual) alias tidak bermutu seperti itu, cenderung masuk neraka.
Semua ini khas budaya patriarki. Tidak hanya pada budaya Barat (Kristen abad ke-15), tetapi juga melanda budaya patriarki di Asia, seperti China dan Jepang, termasuk juga budaya patriarki keras Arab.Hadis-hadis abad pertengahan juga berkecenderungan sama seperti malleus maleficarum. Bahwa kaum perempuan itu harus 'digunakan' dan tidak boleh berkuasa. Calon penghuni neraka, tidak jelas posisinya di surga Arab yang male oriented-implisit wanita yang 'baik' menjadi (salah satu) istri dari seorang lelaki terkemuka. Itulah yang selalu terjadi. Bahwa budaya Arab sama saja dengan budaya lainnya yang mengklaim sebagai budaya yang berasal dari Tuhan. Tentu saja ini tidak berarti bahwa kaum muslim tidak boleh mengikuti tradisi ajaran agamanya-sama halnya dengan pengikut agama lain mengikuti ajaran agamanya masing-masing. Semua tradisi agama itu memiliki ciri-ciri yang sama. Seperti halnya bidang keilmuan yang dipelajari umat manusia (seperti: ilmu ekonomi, politik, dan sosiologi), agama-agama juga memiliki karakteristik unik yang dapat dipelajari. Klaim pengikutnya bahwa ajaran agamanya khas dan istimewa atau beda dengan yang lainya adalah exactly sekadar klaim. Peran wanita dalam hadis-hadis itu sama seperti ajaran Katolik (yang juga diakui dalam ajaran Protestan), malleus maleficarum-referensi sejarah peristiwa kejadian inkuisi Kristiani abad 15-17. Logika yang dipakai oleh pendeta Katolik dan Protestan ketika mengejar para wanita yang dituduh sebagai witch (tukang sihir wanita), serta hukumannya mirip ajaran Taliban di Afghanistan sekarang ini.
Adalah Heinrich Kramer (1430-1505), gerejawan dan inquisitor Jerman, bersama rekannya seorang pendeta Swiss, Jacob Sprenger (1436/1438-1494), menulis buku berjudul Malleus Maleficarum (bahasa Latin dari The Hammer of Witches, atau dalam bahasa Jerman, Hexenhammer) yang dirilis pada 1486. Buku klasik ini berisi tiga bagian yang mengisahkan tentang 'ilmu sihir wanita' (witchcraft), deteksi, dan hukumannya. Salah satu edisi buku ini diawali dengan surat keterangan dari Paus Innocent VIII yang bernama asli Giovanni Battista Cib• (1432-1492). Jika peranan dan kemampuan alamiah yang dimiliki kaum perempuan, sebagaimana telah dibuktikan lewat sosok wonder woman yang pernah dimiliki bangsa-bangsa di dunia ini, saya kira 'tugas berat' kaum pria secara universal akan semakin mudah karena dibantu kaum perempuan. Pertentangan atau polarisasi antara laki-laki dan perempuan dengan sendirinya sudah ada sejak diciptakannya kedua makhluk di dunia. Pada awalnya laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling melengkapi. Mereka terlahir dengan harkat, martabat, derajat, hak-hak serta potensi-potensi intelektual yang sama. Namun kaum laki-laki secara psikologis dan sosiologis mengkerangkakan pola-pola pikiran manusia untuk menempatkan laki-laki sebagai pusat, sedangkan perempuan adalah makhluk yang memiliki kelemahan secara biologis sehingga pada perkembangan peradaban manusia selanjutnya selalu menempatkan perempuan sebagai inferior (Ratna, 2004:182-183). Abidah el Khalieqy juga sering disebut sebagai Nawal el Sadawinya Indonesia. Penganut setia faham feminis ini lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 1 Maret 1965. Ia mengawali petualangan fiksinya sejak di pesantren putri modern PERSIS, Bangil, Pasuruan, Jawa Timur dan terakhir tercatat sebagai alumni Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, Yogayakarta. Novel Geni Jora karya Abidah el Khaliqy menceritakan perjalanan hidup seorang perempuan bernana Gejora dalam melawan sistem atau tata nilai patriarkhat. Perlakuan tidak adil masih diterima Jora (Gejora) baik dari keluarganya sendiri maupun dari lingkungan atau masyarakat. Garis keturunan Jora yang sedikit banyak masih mempunyai darah keturunan Arab membuat semakin kuat berlakunya nilai-nilai patriarki dalam kehidupannya. Seperti yang diketahui bahwa budaya dan adat Arab melarang seorang wanita keluar rumah sendirian tanpa ditemani oleh orang tua atau muhrimnya yang lain. Dari segi arsitektur, rumah orang Arab pun mendukung adat tersebut. Rumah orang Arab biasanya dikelilingi olah pagar yang tinggi sehingga orang luar tidak dapat melihat kegiatan si pemilik rumah.
Di semua budaya yang kita kenal, kehidupan dan pengalaman laki-laki dan perempuan ternyata berbeda dalam banyak hal. Fenomena ini disebabkan oleh hadirnya sebuah konstruk sosial yang secara nyata berkiblat pada ideologi patriarki. Ideologi ini mensyaratkan adanya pengendalian kekuasaan atau dominasi oleh laki-laki serta stereotipe peran perempuan. Ideologi patriarki telah lama menjadi fondasi konstruk sosial kita. Kaum laki-laki mewarisi sebuah tatanan sosial mereka mendominasi ruang kekuasaan dan kewenangan. Sehingga aktivitas-aktivitas sosial selalu dikaitkan dengan tindakan mereka. Nosi inilah yng menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan atau bahkan penindasan terhadap kaum perempuan dalam masyarakat. Kehidupan, pengalaman, dan nilai-nilai yang diyakini perempuan dianggap marginal sementara pengalaman laki-laki dianggap normatif (Sherry, 1988). Stereotipe peran perempuan selanjutnya termanifestasikan dalam bahasa dikarenakan hakikat dinamika bahasa yang senantiasa mengiringi dinamika kehidupan laki-laki dan perempuan. Faruk menggambarkan stereotipe ini sebagai hantu yang selalu menampakkan dirinya dalam bentuk kamuflase yang didasarkan pada situasi. Sebagai alat untuk mereproduksi stereotipe, bahasa mengalami proses yang berkelanjutan yang melakukan “aksi gender” dalam beragam latar interaksi antara laki-laki dan perempuan (1997:33-34). Oleh karenanya, sastra pun terkena imbasnya. Novel sebagai salah satu genre sastra, menurut Aristiarini (1998: xix), seringkali mengangkat konflik yang bias gender—sebuah konstruk sosial dan kodifikasi perbedaan jenis kelamin yang dikaitkan dengan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan. Sastra, pada gilirannya, menjadi kamuflase kekuasaan yang dominan dan bahkan menjelma menjadi kekuatan terselubung yang mereproduksi bias gender. Dalam banyak karya sastra, misalnya, sistem nilai yang berlaku untuk perempuan seperti sentimentalitas, perasaan dan spiritualitas masih dianggap marginal dan tersubordinasi. Perempuan hampir selalu diilustrasikan sebagai karakter yang perlu dilindungi dan sangat diperhatikan (Faruk, 1997: 35). Sebuah penelitian di Amerika Serikat pada tahun 1960-an mengungkap bahwa sebagian besar karya sastra kanonikal adalah karya laki-laki. Karya sastra oleh dan tentang perempuan begitu diremehkan dan diabaikan karena hanya mengangkat masalah perasaan dan kehidupan pribadi. Sebagaimana yang diutarakan oleh Virginia Woolf dalam “A Room of One’s Room” (1929) bahwa penilaian umum terhadap karya sastra adalah “This is an important book...because it deals with war. This is an insignificant book because it deals with the feeling of women in drawing room.” Penindasan terhadap perempuan disebabkan oleh patriarki, patriarki meletakkan perempuan di bawah laki-laki dan memperlakukan perempuan sebagai laki-laki yang inferior. Laki-laki menggunakan kekuatan secara langsung atau tidak langsung dalam kehidupan sipil dan rumah tangga untuk membatasi perempuan. Meskipun ada kemajuan demokrasi namun perempuan terus dikuasai laki-laki. Selain telah meremehkan dan telah menganggap perempuan sebagai makhluk yang lebih rendah. Laki-laki juga selalu menguasai perempuan sebagai makhluk yang lebih rendah. Laki-laki juga selalu menguasai perempuan yaitu mitos tentang perempuan ideal yang dipuja dan selalu dicari laki-laki (Tong, 1998:267). Sampai saat ini berbagai bentuk tindakan penindasan terhadap perempuan masih sering terjadi. Oleh karena itu, kesadaran dan keberanian untuk melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan terhadap perempuan sangatlah diperlukan. Dalam Geni Jora, Abidah ingin menyampaikan perjuangan seorang perempuan bernama Jora untuk menemukan jati dirinya yaitu dapat keluar dan bebas dari belenggu kehidupan keluarganya yang masih menerapkan sistem patriarki. Salah satu bentuk perlawanan terhadap sistem patriarki yang dilakukan oleh Jora adalah ketika Jora mengerti bahwa tunangannya (Zakky) adalah petualang cinta kelas anaconda, ia tidak terhanyut dalam kesedihan dan tidak pula menerima dengan senang hati. Dari sudut pandang Jora, ia merasa mengalir sebagaimana takdir yang diperuntukkan baginya, yaitu sebagai perempuan merdeka dan mencoba beradaptasi dengan sopan santun dan bergerak sebagaimana makhluk-makhluk lain bergerak. Jika laki-laki senang berburu, tidak ada salahnya perempuan menyenangi hal yang sama. Satu hal yang paling penting, perempuan tidak bisa dibohongi, tidak layak untuk dibohongi dan bukan objek dari kebohongan. Jika laki-laki menipu perempuan sama halnya mereka menipu diri mereka sendiri sekaligus menipu dunia.
Banyak kegiatan yang dilakukan perempuan dalam novel Geni Jora sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem patriarki. Salah satunya adalah seminar tentang dunia perempuan yang sering diadakan di masjid besar Jami al Sunnah. Pada umumnya seminar itu bertema tentang perempuan dan kekhalifahan, tema yang menggetarkan dan membuat gelisah para penguasa laki-laki seantero bumi. Siapakah perempuan? Barisan kedua yang menyimpan aroma melati kelas satu. Semesta alam terpesona ingin melihatnya, meraihnya, memiliki, dan mencium wanginya. Tetapi dalam sistem patriarkhi wanita berada di kelas dua (2) dan laki-laki adalah kelas pertama. Laki-laki selalu ingin menang dan menguasai kemenagan. Dalam keluarga Jora yang masih menerapkan sistem patriarki, wanita selalu dinomerduakan dan dianjurkan untuk siap mengalah pada setiap kesempatan, termasuk dalam prestasi pendidikan. Jora menentang prinsip neneknya bahwa perempuan harus mengalah karena ini hanya akan membuat perempuan tidak diperhitungkan. Bentuk penentangan yang dilakukan Jora antara lain dengan membuktikan bahwa prestasi belajar Jora lebih tinggi atau bagus daripada Prahara (adik laki-laki Jora). Wanita bukan parasit tapi wanita adalah klorofil bagi laki-laki.
Gejora adalah generasi muda masa kini yang telah menikmati kemajuan teknologi, mengenyam pendidikan tinggi hingga ke universitas dan pergi ke luar negeri untuk konfrensi-konfrensi. Ia bukan lagi perempuan dengan tangan belepotan tepung yang bekerja di sumur, dapur, dan kasur. Gejora adalah protitipe perempuan terpelajar sekaligus sebagai bukti perempuan harus lepas dari sistem patriarki. Dengan memanfaatkan wawasan mengenai latar material dan latar tempat di Timur Tengah, Abidah menampilkan tokoh Jora sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem patriarkhi. Berbagai macam cinta dikupas. Dengan halus Abidah menyelusupkan ideologi gendernya menjadi sebuah gugatan yang menuntut perlakuan adil terhadap kaum perempuan. Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin menganalisis Geni Jora dengan menggunakan pendekatan feminisme yang juga berarti membaca sebagai perempuan. Modernisasi telah mendorong perempuan untuk berfikir maju dan memperjuangkan haknya sejajar dengan laki-laki.
*) pernah belajar di UNDIP
1 comments so far
Feminisme liberak masuk gak kedalam alur cerita novel geni jora?? Soalnya saya ingin meneliti bagian feminisme liberal
Mohon balasanya.
Makasih
SILAHKAN BERKOMENTAR DENGAN KATA-KATA YANG BIJAK, KOMENTAR SEPENUHNYA TANGGUNG JAWAB ANDA
EmoticonEmoticon